Jejak Wali Songo: Mistikal Jawa dan Kepahlawanan Surabaya

Naga Giri mengawali laluan masuk ke makam Sunan Giri di Gresik

Di Jawa Timur, ziarah ke makam-makam Wali Songo beri vibrasi yang bikin jantung berdetak.

Oleh  Zurina Waji

Di persimpangan satu lorong kecil di Ampel, sebuah kota lama di utara Surabaya, seorang anak muda berwajah Arab lagi melayani seorang wanita berjubah yang melanggani tokonya. Diamati, butir bicara Jawanya ada bercampur dengan sedikit Madura.

Arab cakap Jawa, hati saya berdetik.

Berdiri memerhati, agak lama, dia mulai resah atau tersipu malu barangkali lantaran jadi perhatian.

“Ada pulsa?” saya bertanya, akhirnya selepas pelanggan tadi yang saya kira wanita asal Madura, beredar.

“Bisa internetan, ya?” tanya saya lagi. Dia senyum, mengangguk sambil membantu mengganti kad sim talian Indonesia yang berharga hanya 30,000 Rupiah atau kira-kira RM8.40 untuk kegunaan seminggu.

Saat itu, seorang temannya, juga berwajah Arab, datang singgah. Rambut kemerahan, kerinting persis mi segera kering mencecah bahu, dia tampak sedikit janggal dengan baju-T merah dan jeans berbanding temannya yang sepertimana ramai lelaki kala berselisih di jalanan semasa azan tadi, bergamis atau berkemeja dengan kain pelikat dan kopiah.

Oh, bicara mereka bagaimanapun sebagaimana diduga – telo Jawa yang pekat!

Tidak mengerti apa yang dibualkan, saya mengalih pandangan ke jalan dan melihat tukang beca melepasi setengah abad dan dua gadis berwajah Arab, lengkap berseragam sekolah dan berhijab yang dibawanya, petang itu.

“Di Ampel, kulinari Arab daripada roti maryam ke nasi kabuli, juga masakan khas Yaman, berdiri di antara penjual rojak cingur, rawon, bakso Malang dan nasi pecel madiun…”

Arabsche Kamp sebagaimana dijoloki penjajah Belanda yang bermaksud Kampung Arab, merujuk pemukiman masyarakat Arab pada masa itu, nyata kekal sampai ke hari ini. Kurang lima kilometer dari pusat kota Surabaya, perkampungan di daerah Semampir ini yang asalnya didiami keturunan Arab Yaman dari Hadramaut juga merupakan sebahagian daripada kawasan Wisata Religi Sunan Ampel.

Tidak hanya komunitas berwajah Arab, kehadiran mereka menebar dalam perekonomian, jelas di pasar bersebelahan masjid tua Ampel yang seakan souk di Madinah yang menawarkan barangan Timur Tengah daripada jubah, kurma ke wangian.

Di Ampel, kulinari Arab daripada roti maryam ke nasi kabuli, juga masakan khas Yaman, berdiri di antara penjual rojak cingur, rawon, bakso Malang dan nasi pecel madiun antaranya, selain nasi jagung Madura yang panjang barisan pembelinya.

Saya berada di Surabaya dua hari sebelum Indonesia meraikan Hari Pahlawan Nasional mereka. Dan Ampel jadi titik pemula ziarah saya ke makam-makam ulama dan pejuang Islam di Jawa Timur, bermula dengan Raden Rahmat atau Raden Ahmad Rahmatullah, antara sembilan pendukung Wali Songo yang berperan menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa pada abad ke-15 di bawah era pemerintahan kerajaan Majapahit yang lebih dikenali sebagai Sunan Ampel.

Makam Sunan Ampel Yang Tidak Pernah Sepi

Pagi itu, sebagaimana rutinnya sejak 20 hari lalu, Ibu Imam mengambil tempatnya di tepi pintu masuk ke ruang makam yang menempatkan Mbah Sonhaji yang juga diteriak Mbah Bolong, antara dua pengikut terkenal Sunan Ampel.

“Ini dikasi sama orang,“ kata wanita berusia 77 tahun itu, menunjukkan bungkusan nasi yang kemudian disua kepada saya apabila disapa.

Saat itu, matahari yang tadinya ditutupi awan, mula menampakkan diri dan matanya menggerenyet, mengelak cahaya yang menerobosi di celah daun sebatang pohon tua, tempatnya berteduh. Tasbih tidak lepas di tangan sambil mulut kumat kamit berzikir kala dia membetulkan kain yang menyelimuti kakinya yang terlunjur.

“Sudah tua-tua, beginilah,” katanya, ketawa, merujuk kakinya yang mungkin berasa sengal sambil membetulkan sandarannya di dinding. Bukan aneh sebetulnya apabila pengunjung seperti Ibu Imam menghabiskan masa berdoa, berzikir dan berselawat di kompleks pemakaman ini tapi 20 hari?

Ditanya, wanita asal Madura ini, berkata: “Saya datang untuk berdoa. Sudah 20 hari di pemakaman, belum pulang-pulang. Sebentar lagi mahu ke masjid (Masjid Ampel) menunggu Zohor, malam seringnya di makam Sunan Ampel sampai ketiduran saya.”

Gapura di pintu masuk makam Sunan Ampel di sebelah barat Masjid Ampel

Batu nisan dengan seni pengaruh Majapahit di kompleks makam Sunan Ampel

DOA…Ibu Imam di makam Mbah Bolong

“…melewati puluhan makam purba menuju makam Sunan Ampel, di mana satu perkumpulan besar sedang melantunkan Qasidah, berselawat ke atas Junjungan Nabi Muhammad s.a.w. Dan vibrasi malam itu nyata buat bulu roma merinding.”

Sambil berbual, saya memerhati pengunjung di makam Mbah Bolong yang berjasa menjadi penentu arah kiblat Masjid Ampel yang dibina pada 1421 itu. Ia, masjid ketiga tertua di Indonesia, dibina Sunan Ampel di daerah yang dulunya digelar Ampeldenta atas pemberian Prabu Brawijaya, Raja Majapahit ketika itu yang mengahwini adik ibunya, Dewi Dwarawati.

Ibu Sunan Ampel, Dewi Condrowulan adalah puteri Raja Champa yang kemudian dijodohkan dengan Ibrahim Samarqandi atau kemudian dikenali sebagai Maulana Malik Ibrahim yang juga digelar Sunan Gresik.

“Saya punya tiga anak, tapi dua sudah meninggal. Orang tua sepertiku yang sudah tidak bekerja, apa lagi? Di Ampel, bisa ibadah dan makan sering dikasi orang, ada kamar mandi di luar sana untuk mandi,” kata Ibu Imam lagi.

“Saya senang. Ampel tidak pernah sunyi apa lagi Ramadhan. Masjid dibuka sepanjang Ramadhan.”

Seorang teman memberitahu, pemakaman Wali Songo terutamanya sememangnya tumpuan ziarah. Ada, menurutnya yang kurang berkemampuan untuk ke Tanah Suci Mekah, ke makam Wali Songo pun sudah dianggap sebagai satu kenikmatan.

Kata Ibu Imam, selama berkelana di pemakaman Sunan Ampel, dia bertemu pengunjung dari Malang dan Kediri, malah sejauh Lampung, wilayah paling selatan di Sumatera.

Hari sebelumnya, sambil duduk menghadap makam Sunan Ampel di sebelah barat masjid yang dikebumi pada 1481, bersebelahan Dewi Condrowati, isteri pertamanya yang bergelar Nyai Ageng Manila, saya melihat tamu berbondong-bondong datang berziarah.

Tapi malam, nyata lebih mengasyikkan. Dari lantai ke celahan makam bernisan era tinggalan Majapahit, pengunjung berzikir, membaca Al-Quran. Khamis malam Jumaat itu, saya melewati puluhan makam purba menuju makam Sunan Ampel, di mana satu perkumpulan besar sedang melantunkan Qasidah, berselawat ke atas Junjungan Nabi Muhammad s.a.w.

Dan vibrasi malam itu nyata buat bulu roma merinding.

KLASIK…naskah Sindujoyo yang menggunakan aksara pegon dan Jawa, antara yang dipamer di muzium Sunan Giri di Gresik

Khamis malam Jumaat di makam Sunan Ampel

Dari Ampel ke Gresik

“Setiap Jumaat Legi, mengikut pengiraan kalendar Jawa, makam Sunan Ampel penuh.”

“Sunan Ampel itu berdarah biru, mbak,” kata Pak Kosim, pemandu yang membawa kami ke Gresik, pagi itu, melewati jalur Benowo dan deretan kolam perusahaan garam seluas mata memandang yang disebut uya. “Keturunan ningrat dia.”

Ia, sekaligus menjelaskan tingginya penghormatan terhadap Sunan Ampel, sehingga kini. Ini ditambah dengan pendekatannya yang mengambil hati masyarakat Jawa yang ketika itu, masih berfahaman Hindu.

Sunan Ampel, memetik laman web www.gomuslim.co.id, mengIslamkan anasir Hindu, tersirat menerusi kombinasi budaya masyarakat dalam hal Buddha dan Hindu dengan ajaran Islam seperti pertunjukkan wayang purwa atau wayang kulit berdasarkan cerita Mahbharata dan Ramayana, menggantikan wayang beber dengan cerita panji-panji yang digemari, ketika itu.

“Sunan Ampel dijemput bagi membentulkan prilaku para bangsawan, pemimpin Majapahit yang mulai rosak moralnya,” jelas Pak Kosim. “Lalu, Sunan Ampel menerapkan lima ajaran ini yang disebut Moh Limo yang menolak berjudi, ngombe atau mabuk-mabukan, mencuri, candu dan berzina. Setiap Jumaat Legi, mengikut pengiraan kalendar Jawa, makam Sunan Ampel penuh.”

Ditanya, jawapnya: “Kata adik saya yang sering berziarah, hati jadi tenang. Istilahnya, sambil menghayati ajaran Sunan Ampel, hidup tidak sengsara. Dia bilang, merasa hidup itu sentiasa cukup. Rezeki itu, katanya sentiasa ada.”

Di Gresik, lebih kurang sejam perjalanan dari Ampel, saya ke makam Maulana Malik Ibrahim yang menurut riwayat merupakan keturunan ke-22 Rasulullah. Beliau adalah pendukung pertama Wali Songo yang menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa sebelum meninggal pada 1419 dan dimakamkan di Desa Gapuro Sukolilo.

Jauh berbanding suasana di kompleks makam Sunan Ampel, saya lebih santai menikmati kedamaian di makam Maulana Malik Ibrahim yang muncul semasa masyarakat Jawa dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Beberapa nisan unik meraih perhatian sebelum langkah terhenti di satu gapura paduraksa yang terpahat aksara Jawa, menunjuk pintu masuk ke makam Kyai Toemenggoeng Poesponegoro I, Bupati pertama Gresik.

Di gapura paduraksa makam Poesponegoro I di Gresik

Makam purba di laluan masuk ke makam Poesponegoro

Alunan surah Al-Quran, mungkin dari masjid berdekatan, mengiringi langkah saya yang harus lebih dulu melewati puluhan kubur purba yang berteduh di bawah pohon-pohon tua kemboja. Bau bunga berlegar, menambah rasa mistikal keJawaan apatah lagi dengan adanya gapura-gapura paduraksa dan batu prasasti, juga berpahat aksara Jawa yang didahului ungkapan Arab sebagai pembuka.

Satu ketika, kepanikan menyelubungi kala menyedari keadaan sepi tiba-tiba dan saya sendirian  di satu ruang pemakaman. Sambil mempercepatkan langkah untuk ke makam Toemenggoeng Poesponegoro I yang dilahirkan sebagai Bagus Lanang Poespodiwangsa, saya gelihati sendiri walaupun tidak mengerti entah apa yang mendorong saya berperasaan begitu sebentar tadi.

*bersambung di bahagian II