Jejak Wali Songo: Mistikal Jawa dan Kepahlawanan Surabaya (Bahagian II)
Mika Irfan Nojey Aman Amalo Nojey, 20, wakil Malaysia di 1st International Horseback Archery Indonesia di Pondok Pesantren Darul Ulum Al-Fatah, Temboro
Menyelusuri pengaruh Wali Songo di pondok pesantren dan semangat pejuang yang dititipkan.
Oleh Zurina Waji
HUJAN mengiringi kedatangan ke makam Sunan Giri di puncak bukit Desa Giri, Kebomas. Masih dalam daerah Gresik, Jawa Timur, tidak jauh dari kompleks makam Maulana Malik Ibrahim yang juga dikenali sebagai Sunan Gresik, dua patung kepala naga yang menyambut tamu sebelum melepasi Gapura Bentar buat saya keliru.
Saya berdiri di antara dua naga itu, melihat ke anak tangga yang baru didaki, melewati puluhan makam purba.
“Sebelum kedatangan Islam, naga adalah simbolisme binatang suci yang punya makna mendalam bagi kehidupan kerohanian.”
Patung Naga Giri, lambang candra sengkala Nogo Loro Warnaning Padha, begitu saya difahamkan kemudiannya. Ia merujuk tahun 1428 tahun Saka atau 1506 Masehi, bersamaan tahun wafatnya Sunan Giri, salah seorang pendukung Wali Songo yang juga dikenali dengan banyak nama iaitu Raden Paku, Muhammad Ainul Yakin dan Sultan Abdul Faqih, antaranya.
Sebelum kedatangan Islam, naga adalah simbolisme binatang suci yang punya makna mendalam bagi kehidupan kerohanian. Satu penghormatan dizahirkan masyarakat Jawa ketika itu, tentunya ekoran jasa Sunan Giri yang ikut mendirikan pemerintahan Giri Kedaton yang kemudian berperan sebagai pusat dakwah Islam di Tanah Jawa, menebar sampai ke kepulauan Maluku.
Paduraksa dengan tulisan Jawa di laluan masuk ke makam Poesponegoro I, Bupati pertama Gresik berdekatan makam Maulana Sheikh Malik Ibrahim di Desa Gapuro Sukolilo, Gresik
Sebuah binaan lama di puncak bukit berdekatan, di Dusun Kedaton, jadi saksi keagungan Giri Kedaton yang banyak membantu Demak melawan kerajaan Hindu Majapahit. Jelas, bukan pondok pesantren biasa, ia yang asalnya dibangunkan Sunan Giri pada 1487 atas saranan bapanya, Maulana Ishaq, seorang ulama di Samudra Pasai yang juga merupakan teman seperguan Sunan Ampel, berkembang sebagai kerajaan para santri yang berpengaruh dengan kekuatan politik dan memuncak di bawah kepimpinan Sunan Prapen antara 1548-1605.
Kesan kebangkitan juga diperlihatkan, antaranya lewat artifak yang termasuk kitab Al-Quran dan naskah kuno tulisan tangan, dipamer di Museum Sunan Giri yang berada di kaki bukit menuju ke kompleks makam. Saya menganga melihat, antaranya Naskah Sindujoyo yang menggunakan aksara pegon dan Jawa kuno yang masih utuh. Huruf pegon atau tulisan Arab berbunyi Jawa atau Sunda dicipta Sunan Ampel bagi memudahkan penyampaian ajaran Islam kepada muridnya dan masih diguna pakai sebagai bahan pelajaran di sebahagian pesantren di Indonesia.
Pak Kosim, pemandu yang membawa kami dari Ampel ke Gresik, yang mendengar saya mengomel sendiri melihat ratusan anak tangga yang harus didaki untuk ke puncak, ketawa seraya memberi justifikasi, “Giri itu kalau dalam bahasa Jawa, berarti gunung.”
Dingin hujan membawa rasa damai saat mendengar azan solat Jumaat dilaungkan dari Masjid Sunan Giri, bersebelahan kompleks makam, yang berciri senibina Majapahit itu. Dibangunkan di Bukit Kedaton Sidomukti asalnya oleh Sunan Giri, masjid itu dipindahkan berdekatan makamnya oleh cucu ketiganya pada 1544.
Di makam Sunan Giri, saya membongkok masuk kerana pintunya yang rendah, lebih rendah berbanding di makam Toemenggoeng Poesponegoro I di Desa Gapuro Sukolilo, yang juga saya percaya sebagai tanda hormat. Saat kepala diangkat, saya tidak menduga akan dijamu kehalusan seni pada dinding kayu yang melindungi makam, berukir motif teratai, gunung dan lambang garuda. Saya terpukau.
Dan bau gaharu yang berlegar menambah kedamaian.
Nisan dengan pengaruh seni Majapahit berdekatan makam Mbah Bolong, di kompleks makam Sunan Ampel di Ampel
Nisan kuno kayu di kompleks Makam Maulana Sheikh Malik Ibrahim, Gresik
Kenapa Sunan Giri lebih dekat pada hati masyarakat, sampai kini? Selain mendirikan sekolah Islam, antaranya bagi pembangunan sosial, ulama asal Blambangan itu, kini Banyuwangi, berjasa dalam mengembangkan sistem pesantren yang masih merupakan antara pasak pendidikan berasas ajaran Islam di Indonesia.
Kecenderungan masyarakat pada seni digunakan Sunan Giri untuk berdakwah pada sekecil-kecil anak dengan menyampaikan ajaran Islam melalui karya-karya berjiwa agama, menerusi permainan tradisional Jawa seperti Lir Ilir, Jelungan, Jamuran dan Gendi Gerit dan menghasilkan tembang permainan, antaranya Padang Bulan dan Cublak-cublak Suweng.
Saat diperdengarkan Asmaradana, penuh berisi pesan kerohanian oleh Sunan Giri, saya jadi faham mengapa tembang itu jadi gurindam buat banyak jiwa.
Menghidupkan sunnah di Kampung Madinah
Auliya, 18. Dia, sebagaimana ribuan santri perempuan di Pondok Pesantren Darul Ulum Al-Fatah, Temboro, berjubah hitam dan berniqab apabila berada di khalayak dengan ada sebilangannya mengenakan burqa.
“Santri puteri memang diwajibkan berniqab selama berada di pondok pesantren Al-Fatah, meneladani para isteri Nabi, antara pendekatan bagi menghidupkan amalan sunnah.”
“Para santri puteri semuanya harus mengenakan niqab?” saya bertanya kepadanya dan dia mengangguk. Beriringan, berjalan santai dari lapangan di mana acara 1st International Horseback Archery Indonesia sedang berlangsung, kami berselisih dengan ramai perkumpulan pelajar berpenampilan sepertinya.
Ditanya lagi, dia memberitahu: “Santri puteri memang diwajibkan berniqab selama berada di pondok pesantren Al-Fatah, meneladani para isteri Nabi, antara pendekatan bagi menghidupkan amalan sunnah.
“Biar pun tidak berada di pesantren, apabila pulang ke kampung, saya memang mempraktikkan pemakaian niqab. Pokoknya, amalan sunnah itu tidak terhad hanya selama kami di pesantren kerana ia memang sebati dalam kehidupan harian kami.”
Bercelana hitam dan berkemeja lengan panjang, perbedaan penampilan antara saya dan para santri Al-Fatah sememangnya ketara. Di tanah seluas 100 hektar di daerah Magetan, Jawa Timur yang menempatkan hampir 30,000 pelajar itu, anehnya saya tidak berasa canggung walau awalnya berasa sendiri seperti makhluk asing.
Kesudian Kyai Ubaidillah Al-Akhror yang menyelia pesantren menerima saya dan dua teman lain sebagai tamu cukup mengujakan kami. Jika sebelum ini hanya menonton rakaman di YouTube perihal sebuah tempat yang digelar Kampung Madinah, hari itu saya mencatat pengalaman peribadi, akhirnya.
Empat jam perjalanan sebelumnya, saya melayani Pak Kosim yang memandu menempuhi tanah luas berjarak 180 kilometer dari Gresik ke Temboro, dengan cerita daripada Wali Songo ke perimbon Jawa, juga soal ekonomi yang dikuasai Cina dan politik Indonesia di bawah Presiden Jokowi yang menuju ke Pemilihan Presidennya, tahun depan.
Pak Kosim, 52, bapa kepada tiga anak itu dilahirkan di Surabaya. Ada rasa bangga menyelinap apabila dia berkata, “Surabaya itu dikenali sebagai Kota Pahlawan, mbak.” Cubaan saya untuk mengajuk telo Jawanya apabila menyebut Surabaya yang dikenal dengan mitos pertemuan Suro dan Boyo, iaitu ikan dan buaya, buat dia gelihati.
Masjid Cheng Ho diuruskan komunitas Cina-Islam di Surabaya
“Bapak asli Jawa?” tanya saya kepada Pak Kosim yang meniyakannya sebelum dia berkongsi kekesalan kerana pengetahuan membaca tulisan Jawa semakin pupus di kalangan generasi sekarang, termasuk dia sendiri, selepas saya merujuk kitab kuno di Museum Sunan Giri, sebelum itu.
Di Temboro, tepatnya di pondok pesantren yang mana pengaruh kehidupan sunnahnya ikut melempias ke penduduk asal seramai 7,500 orang itu, memperlihatkan bagaimana keharmonian berujud, bertunjangkan ajaran Islam di sebalik pertembungan pelbagai etnik dan bahasa, antaranya dengan kemasukan pelajar asing termasuk dari Malaysia dan Kemboja.
Temboro, desa kecil di Magetan, Jawa Timur yang dikenali kerana Pondok Pesantren Darul Ulum Al-Fatah
Saya yang tidak mendengar telo Jawa dalam bicara Auliya segera bertanya asal usulnya. Dia melihat saya dengan sepasang mata yang bercahaya dan saya dapat merasa ada senyuman dilemparkan di sebalik niqab itu. “Saya dari Palu, mbak,” katanya.
Saya tersentak, bimbang kerana belum pun dua bulan pun dunia melihat Sulawesi dilanda gempa bumi dan tsunami terburuk dengan Palu mencatat kematian dan kemusnahan paling teruk. “Keluarga saya okay, Alhamdulillah,” katanya, cepat meningkah.
Ditanya suda berapa lama dia menuntut di Al-Fatah yang juga merupakan antara pesantren terbesar di Indonesia, katanya: “Saya dalam pengajian Hadith, sudah tujuh tahun di Al-Fatah. Bukan semua santri mendalami Hadith semata, ada juga mengikuti pendidikan formal selain hafalan Al-Quran. InsyaAllah, usai pengajian, saya mahu mengajar.”
Pesantren ini yang menyusuli pembinaan Masjid Al-Fatah pada 1939, menerapkan kehidupan sunnah yang berlandaskan konsep di Madinah semasa hayat Rasulullah s.a.w. Pengajian hadith, antara yang diberi penekanan dan saya diberitahu ia juga satu-satunya pesantren di Indonesia yang menawarkan pembelajaran ilmu kebatinan, selain menjadi pusat dakwah.
Sambil berjalan, saya mengajak Auliya bergambar sama. Saat itu, beberapa temannya yang mengekori, berteriak untuk ikut bergambar diiringi ketawa kecil. Biar berniqab, saya senang merasai jiwa ceria remaja mereka.
Saya selesa merayau di perdesaan, damai mendengar getaran pohon bambu yang merimbun, tidak jauh dari tasiknya yang menghijau, melewati sungai yang mengalir tenang sebelum menyertai beberapa santri di makam Kyai Huzron yang pernah memimpin pondok pesantren ini. Pengalaman jadi tambah makna dengan kemesraan warganya, terutama kala melewati deretan kedai dengan pertanyaan lazim mereka, “Dari mana, mbak?“
Dan saya merasai keasyikan kerana mereka di Temboro tidak menilai dan seorang seperti saya tidak dihakimi.
Surabaya, Kota Pahlawan
Di kota Surabaya, malam sambutan Hari Pahlawan Nasional dipalit kecelakaan. Tiga daripada sembilan yang menonton persembahan drama kolosal Surabaya Membara dari laluan keretapi setinggi enam meter di Jalan Pahlawan dilaporkan mati.
“Itu kan viaduk rel keretapi,” kata Pak Suki, pemilik kedai Nasi Padang di simpang berseberangan muzium kretek terkenal, House of Sampoerna, membelek akhbar yang dipenuhi berita susulan insiden pada 9 November itu.
Jalur yang tidak sepatutnya dilalui malam itu dilaporkan dilalui gerabak barang dan mangsa menyedari tiada ruang untuk menghindari keretapi yang datang ketika mereka asyik menikmati persembahan, kecuali terjun.
Saya kembali ke ibukota Jawa Timur ini, di mana Presiden pertama Indonesia, Soekarno dilahirkan 117 tahun lalu selepas dia membuat proklamasi kemerdekaan bersama Mohammad Hatta pada 17 Ogos 1945.
Rumah Soekarno di Jalan Padean bagaimanapun, baru dua tahun dibuka untuk kunjungan. Pak Suki, anak Minang yang merantau ke Surabaya dari Pariaman lebih 20 tahun lalu, mengusulkan Hotel Majapahit bagi kunjungan sejarah.
Di Surabaya, tempat kelahiran Soekarno, seorang pedagang dilihat mengenakan baju T dengan imej Presiden pertama Republik Indonesia itu
Ratib Jawa yang mendamaikan dari Masjid Al-Hikmah menemani makan malam di gerai jalanan sepanjang Jalan Dr Soetomo, Surabaya
Bicara ekonomi sampai politik di kedai kecil Nasi Padang milik Pak Suki di simpang jalan berdepan House.of Sampoerna di kota lama Surabaya
Sebuah hotel mewah, penginapan dengan nama asal Hotel Oranje yang menampilkan gaya senibina art nouveau itu diasaskan pada 1910 sebelum sambungan lobi dibuka pada 1936 yang menyaksikan kehadiran, antaranya Putera Mahkota Belgium, Leopold III dan bintang Hollywood, Charlie Chaplin.
“Perang Dunia kedua, hotel itu digelar Hotel Yamato dan dijadikan markas Jepun di Jawa Timur,” kata Pak Suki, mengimbau keributan selepas bendera Belanda dilihat berkibar di hotel itu pada 19 September 1945.
“…bagaimana seluruh pesantren di Jawa Timur menghantar para santrinya untuk ikut berjuang demi fisabilillah biarpun dengan senjata terhad.”
Insiden Hotel Yamato itu, katanya lagi, mencetuskan kemarahan pemuda pro-nasionalis yang mengoyak bendera Belanda dan menggantinya dengan bendera merah putih Indonesia yang membawa kepada berlakunya Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945, iaitu sebahagian daripada Revolusi Nasional Indonesia.
Ini dilihat sebagai kebangkitan pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia lewat konsolidasi masyarakat Islam dan santri pondok dalam barisan Hizbullah, selari Resolusi Jihad oleh Kyai Hashyim Asy’ari yang juga pendukung Nahdtlatul Ulama pada 22 Oktober 1945. Lalu, saya teringat ungkapan Kyai Ubaidillah pada malam pembukaan acara di Temboro, bagaimana seluruh pesantren di Jawa Timur menghantar para santrinya untuk ikut berjuang demi fisabilillah biarpun dengan senjata terhad.
Pertempuran itu, kata Kyai Ubaidillah lagi, mencatat 60,000 pejuang termasuk santri syahid dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dan pantaslah apabila Surabaya, hari ini dikenali sebagai Kota Pahlawan.
Di sebalik insiden malang pada malam sambutan Hari Pahlawan Nasional, mood patriotisme terus berlegar sampai ke jalanannya. “Indonesia di dadaku,” begitu, sering diungkapkan teman yang kembali menyinggah dalam fikiran saat terlihat imej Soekarno pada baju-T seorang pembancuh kopi di Jalan Dr Soetomo untuk makan malam dengan nasi ayam dan itik penyet bersama haruman daun kemangi dan jeruk hangatnya.
Sambil dibuai ratib dalam bahasa Jawa yang beralun dari Masjid Al-Hikmah di seberang jalan, malam-malam saya di Surabaya hampir terasa kesempurnaannya.